Persaingan dunia kerja yang semakin memiliki tantangan membuat Indonesia harus lebih proaktif dan kreatif dalam menghadapinya. Kini, tidak hanya sumber daya alam melimpah yang menjadi modal untuk bersaing tetapi juga sumber daya manusia berkualitas agar setiap negara bisa bertahan dan maju menghadapi persaingan global. Diantara negara-negara tersebut ada beberapa yang menerapkan sistem outsourcing dalam mengembangkan sumber daya manusia. Dalam prakteknya, outsourcing terbukti dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi bagi perusahaan. Indonesia sendiri menempati urutan kelima setelah India, Cina, Malaysia, dan Thailand yang memiliki daya tarik outsourcing berdasarkan Head Line Business Week Edisi 14 September 2007 tentang “TOP OUTSOURCING COUNTRIES”.
Menurut beberapa ahli di Indonesia, outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing) atau memborongkan suatu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut penerima pekerjaan. Outsourcing terdiri dari dua macam yaitu paying agent (labor supply) dan full agent (full outsource). Paying agent adalah perusahaan outsource yang menyediakan tenaga kerja saja, sedangkan full agent selain menyediakan tenaga kerja juga mempunyai fasilitas produksi sendiri. Jenis outsourcing yang dipakai di Indonesia sebagian besar adalah paying agent dimana perusahaan outsource hanya menyediakan tenaga kerja dan mengurusi SDM serta administrasinya saja sedang tempat, pengawas dan semua alat produksi berada di perusahaan pengguna.
Indonesia mengatur masalah outsourcing dalam UUK (Undang-Undang Ketenagakerjaan) Nomor 13 tahun 2003 yang lebih jelas diatur dalam pasal 64, 65, dan 66. Pasal-pasal ini menjadi acuan bagi para perusahaan untuk menerapkan sistem outsourcing yang kini sudah hampir diterapkan di berbagai negara.
Namun dalam kenyataannya, pasal-pasal tersebut tidak sepenuhnya diaplikasikan di Indonesia. Ada beberapa penyimpangan yang terjadi dan merugikan pekerja/buruh. Sebagai contoh, pada faktanya, sebagian besar pekerja/buruh yang tergabung dalam outsourcing justru melaksanakan pekerjaan pokok untuk menekan biaya pekerja/buruh, bukan melaksanakan sebagian pekerjaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 64. Selanjutnya, dalam UUK tersebut juga belum ada ada batasan yang jelas mengenai klarifikasi pekerjaan utama (core business) dan penunjang pekerjaan (non core business).
Walaupun demikian, sebenarnya bisnis outsourcing memiliki beberapa manfaat. Dengan menerapkan outsourcing, sebuah negara dapat mengatasi tingginya angka pengangguran. Setiap sumber daya manusia yang ada akan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pribadinya agar bisa bekerja meskipun perusahaan itu adalah perusahaan outsourcing. Outsourcing dapat membantu perusahaan untuk meminimalkan biaya gaji, mengurangi kebutuhan untuk mempekerjakan lebih banyak staf dan lebih banyak staf untuk mengelola dan meningkatkan penggunaan sumber daya (orang, peralatan, waktu dan uang).
Salah satu bidang yang banyak dikelola oleh perusahaan di Indonesia adalah bidang kebersihan atau cleaning service. Kini, banyak perusahaan yang menyediakan tenaga-tenaga di bidang itu dengan promosi melalui berbagai media baik media cetak seperti koran maupun media elektronik seperti internet. Sebagai contoh, di kota besar seperti Jakarta, para pekerja kebersihan supermarket, mall, kantor, hotel, apartemen, dan lain-lain merupakan salah satu contoh pekerja outsource. Mereka bekerja tanpa kepastian baik dari segi penghasilan, kesejahteraan, keselamatan, maupun kesehatan. Meskipun sudah tercantum dalam UUK yang mengatur masalah outsourcing, tetapi pada faktanya mereka bekerja tanpa batasan yang jelas. Mereka tidak hanya melaksanakan sebagian pekerjaan, tetapi hampir semua pekerjaan inti dari perusahaan pengguna jasa mereka. Rasanya tidak adil dengan banyak terkurasnya tenaga mereka setiap hari, tetapi kontribusi dari perusahaan penyalur tidak sebesar yang mereka kerjakan.
Perusahaan penyalur jasa (outsource)lah yang mengatur berapa gaji mereka setiap bulannya dan mirisnya sebagian besar potongan untuk perusahaan hampir 50% dari gaji yang harus diterima dari perusahaan pengguna jasa. Setiap pekerja outsource kadang harus menanggung resiko jika terjadi kesalahan di perusahaan pengguna jasa meskipun hal itu bukan menjadi tanggung jawab mereka. Satu sisi, perusahaan penyalur dan penyedia jasa sangat diuntungkan dengan sistem ini. Untuk penyalur jasa, mereka mendapatkan keuntungan setiap bulan dari pendapatan pekerja yang dipotong sedangkan untuk pengguna jasa, mereka mendapatkan tenaga kerja yang diinginkan.
Para pekerja kebersihan tersebut sebenarnya akan lebih terjamin jika status mereka dapat lebih dinaikkan seperti status karyawan kontrak langsung pada perusahaan pengguna jasa, bukan menjadi karyawan outsource pada perusahaan penyalur jasa. Dengan menjadi karyawan kontrak, status mereka akan lebih jelas karena mereka dapat mengetahui dengan jelas berapa gaji pokok, tunjangan harian, dan bonus lainnya juga mereka dapat mengetahui kejelasan sampai kapan mereka dapat bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini dapat memicu kualitas dan tanggung jawab mereka sebagai karyawan. Berbeda jika mereka hanya sebagai karyawan outsource. Mereka tidak mengetahui dengan jelas sampai kapan mereka bekerja dan total penerimaan yang seharusnya mereka dapatkan.
Sebenarnya, bukan berarti karena mereka tergolong orang-orang kecil yang hanya memiliki kemampuan sebagai pekerja kebersihan jadi mereka bisa diperlakukan sesuai dengan keinginan perusahaan penyedia jasa, tetapi mereka juga memiliki hak untuk mendapatkan kejelasan dan kontribusi dari perusahaan. Bisa dibayangkan jika sebuah mall, supermarket, hotel, sekolah, kantor tanpa adanya pekerja kebersihan, pasti akan kotor dan tidak terawat. Maka alangkah lebih baiknya jika kita dapat memperlakukan mereka seperti pekerja lain dengan memberikan batasan pekerjaan dan pendapatan yang jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar