Rabu, 17 November 2010

"Bule" yang rendah hati

Senin, 27 September 2010


Sore itu Jakarta diguyur hujan lebat. Dengan tergopoh-gopoh, aku segera meninggalkan kantor menuju kampus untuk kuliah malam. Hujan membuat  jalanan macet serta menggenangi jalanan sehingga aku harus lebih cekatan mencari celah jalan yang tidak tergenang air. Sulit sekali mendapatkan bis yang biasa aku naiki jurusan Pasar Minggu, tapi untunglah setelah hampir 15 menit aku berdiri menunggu, akhirnya bis itu datang juga dan aku pun segera naik.



Kondisi bis itu cukup memprihatinkan karena atap bis bocor dimana-mana. Untunglah aku masih dapat jatah tempat duduk. Sambil menikmati kemacetan kota Jakarta, ada satu kejadian yang menggelitik sekaligus pertama kalinya aku lihat.


Saat itu, tiba-tiba ada seorang bule dengan seseorang yang tampak seperti supir pribadinya terburu-buru menaiki bis yang aku tumpangi.



Dilihat dari penampilannya, menurutku bule itu adalah seorang eksekutif muda. Pakaiannya necis ditambah dasi dan laptop yang ia bawa sendiri tanpa bantuan sang supir. Entah apa yang terjadi, tapi s
aat itu aku hanya berpikir positif, mungkin mobil sang bule mogok di tengah jalan. Tetapi kenapa dia tidak naik taksi saja agar lebih nyaman?
Untuk beberapa saat aku tertegun melihat sang bule, "jarang-jarang ada bule berpenampilan necis mau naik bis umum kaya gini" - pikirku saat itu.


Anehnya, sang supir tidak melakukan apa-apa untuk bule itu. Ia tidak berdiri berdekatan ataupun membantu membawakan laptop, tetapi terpisah dari sang bule.


Tak lama kemudian, sang kondektur meminta ongkos kepada sang bule. Kemudian sang bule mengeluarkan pecahan uang lima puluh ribuan dan dengan khas bulenya mengucapkan kata ”dhua”. Aku pun sedikit tersenyum mendengar logatnya, begitupun orang-orang di sekitarku. Lalu dengan sedikit kerepotan, ia menerima sisa kembalian ongkos dari kondektur. Tepatnya di daerah Jati Padang, sang bule turun bersama sang supir dengan baju yang basah kuyup. Bis pun melanjutkan perjalanan sampai sang bule tak terlihat lagi di kejauhan jalan...


Mungkin kejadian itu bukan sesuatu yang luar biasa untuk sebagian orang, tapi menurutku hal ini sebenarnya merupakan suatu contoh yang baik. Aku yakin bule itu memiliki banyak uang, apalagi hanya untuk ongkos taksi. Tapi kenyataannya, dia malah memilih bis metromini yang penuh sesak, kotor, dan bocor terkena air hujan. Ia juga tidak menyuruh supir pribadinya untuk membawakan tas ataupun barang-barang miliknya. Aku berpikir, andai semua orang Indonesia mempunyai mental seperti bule itu. Tetap rendah hati dan tidak menguatkan gengsinya, mungkin kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Yang perlu kita catat adalah bukan bule itu yang kita jadikan teladan, tapi perilakunya yang pantas kita tiru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar